Advertisement
Tiga Bentuk Kemenangan Besar Pasca Ramdahan | Tak terasa sudah beberapa hari kita telah melewati moment perayaan Idul Fitri 1 Syawal 1435 H. Pada hari itu kita semua merayakan hari kemenangan, rahim Ramadhan telah melahirkan sosok-sosok dan pribadi muslim yang menang dan sukses, namun kemenangan seperti apakah yang akan diraih oleh umat Islam melalui ibadah Ramadhan?. Berikut ini adalah beberapa kemengan yang diraih oleh seorang muslim pasca Ramadhan sebagai bulan tarbiyah dan latihan untuk menempa spiritual bagi mereka yang dengan betul-betul konsekuen melaksakanan segala amal kebaikan pada bulan itu.
Ada tiga bentuk kemenangan bagi umat Islam:
Taqwa adalah suatu kondisi iman dan semangat spiritual yang harus selalu terpatri dalam jiwa seseorang, agar secara berkesinambungan ia selalu merasakan kehadiran dan pengawasan Allah dalam setiap gerak langkah aktifitas yang dilakukannya, sehingga dengannya ia termotivasi untuk tetap taat dan memperbanyak ibadah kepada Allah SWT. Sebagaimana ia juga akan selalu berusaha untuk menghindari duri-duri di jalan kehidupan. Betapa indahnya perumpamaan yang diberikan oleh Ubay bin ka’ab ketika beliau ditanya oleh Umar bin Khattab tentang hakekat taqwa. Ketika itu Ubay balik bertanya: “wahai Amirul mukminin, apa yang anda lakukan di saat anda melewati jalanan yang penuh duri? Umar menjawab: saya akan meneguhkan pandangan agar langkah kakiku tidak menginjak duri, lalu Ubay berkata: wahai amirulmukminin itulah taqwa.”
Semangat ketaqwaan seperti itulah yang diciptakan oleh ibadah puasa, karena dengan berpuasa seseorang dituntut untuk selalu dalam suasana jiwa yang dekat kepada Allah SWT, sebagaimana ia dituntut untuk menghargai waktu agar bisa meraih sekecil apapun peluang ibadah, serta menghindari sekecil apapun peluang dosa yang akan bisa mengurangi atau merusak nilai-nilai puasa. Bahkan dari yang mubah sekalipun jika tidak mendatangkan manfaat apa apa. Oleh Karena itulah Rosulullah membahasakan bahwa “puasa adalah sebagai perisai.”
Ada satu karakter jiwa yang ingin dibina oleh Ramadhan yaitu, jujur atau amanah. Ibadah puasa adalah ujian bagi kejujuran kita, tidak ada yang mengetahui kepastian orang yang berpuasa selain daripada Allah SWT, berbeda dengan ibadah yang lain seperti shalat, haji, zakat dan lain sebagainya.
Kejujuran adalah satu kekuatan yang terdapat dalam jiwa yang membuat pemiliknya mampu melakukan tugas-tugas besar yang diembankan kepadanya. Dengan kejujuran berbagai persoalan dalam hidup dapat diselesaikan, sebaliknya tanpa kejujuran berbagai problematika kehidupan akan selalu bermunculan. Oleh karena itu menghiasi diri dengan sifat jujur adalah satu tuntutan yang dibebankan kepada seluruh elemen masyarakat; pemimpin, pejabat, hakim, politikus, pengusaha, wartawan, kaum akademisi, rakyat dan lain sebagainya.
Kesabaran merupakan karakter yang sangat mulia dan ia bisa diraih dengan cara melatih dan membiasakan diri dengannya. Maka bulan Ramadhan merupakan kesempatan yang besar bagi seorang Muslim untuk melatih kesabaran itu. Ia dilatih untuk mengontrol jiwanya dari pengaruh hawa nafsunya. Dengan begitu ia bisa keluar dari bulan Ramadhan sebagai pribadi yang kuat dan pandai mengendalikan diri dan emosinya.
Keterkaitan antara puasa dengan membangun kecerdasan emosional begitu terlihat dalam penjelasan Rasulullah SAW yang mengatakan: “apabila seseorang sedang berpuasa lalu ada yang menghina dia atau mengajaknya untuk berkelahi maka hendaklah ia mengatakan: saya sedang berpuasa, saya sedang berpuasa” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim). Dengan arti kata kondisi seseorang yang sedang berpuasa akan dapat menahan emosinya agar tidak membalas cacian dan dendam dengan perbuatan yang sama.
Namun ada satu hal yang harus kita pahami bahwa terminologi kecerdasan intelektual dalam Islam tidak berbanding sama dengan teori kecerdasan yang dipahami oleh banyak orang. Selama ini banyak orang yang mengukur kecerdasan lewat pencapaian- pencapaian angka dalam batas tertentu. Sehingga sorang anak dikatakan cerdas apabila nilai rata-ratanya di sekolah Sembilan atau sepuluh. Seorang mahasiswa dianggap cerdas ketika ia sudah mampu menghapal banyak diktat perkuliahannya lalu menghasil nilai IPK tertinggi, begitu seterusnya. Sementara di dalam Islam kesuksesan dan kecerdasan diukur secara proporsional antara kwalitas dan kwantitas. Kecerdasan ada pada mereka yang menempatkan ilmu di hati bukan sekedar di lidah dan retorika saat berdiskusi tapi tidak disertai dengan aksi. Rasulullah SAW bersabda:
Orang yang berakal (cerdas secara intelektual) adalah orang memperbudak dirinya sendiri dan selalu berbuat untuk kepentingan akhirat) (H.R. At-Tirmizi)
Dengan demikian seoarang anak dianggap cerdas bukan semata-mata karena ia telah meraih angka 9 atau 10, akan tetapi diukur sejauhmana pelajaran –pelajaran itu berpengaruh positif dalam kehidupannya. Seorang dianggap cerdas bukan sekedar sudah mengetahui bahwa 1 kg itu sama dengan 10 ons, akan tetapi dianggap cerdas ketika pengetahuan itu diterapkannya di saat ia menjadi seorang pedagang. Sistem pendidikan seperti inilah yang diterapkan oleh Rosulullah SAW dalam mendidik para sahabatnya, sehingga beliau memutuskan untuk mengirim Mush’ab bin ‘Umair menjadi duta dakwah ke Madinah, padahal Mush’ab ketika itu bukanlah orang yang paling banyak hapalan alqurannya.
Inilah tiga kemenangan besar yang diharapkan dapat diraih secara nyata dalam setiap pribadi muslim melalui pelaksanaan ibadah puasa. Sebagai seorang muslim yang setiap tahun melaksanakan ibadah ramadhan harus selalu menginstropeksi dirinya di setiap penghujung hari ramadhan, agar ia tahu apakah ia hari ini benar-benar berbahagia untuk dirinya, atau untuk orang lain. Intropeksi itu menjadi penting untuk dilakukan agar Ramadhan tidak sebatas rutinitas tahunan.
Semoga kita benar-benar menjadi orang yang menang setelah sebulan penuh kita ditempa dengan tarbiyyah ramadhan. Dan semoga kita bisa menjaga kemenagan itu di sebelas bulan berikutnya untuk menyongsong perang kembali di ramadhan yang akan datang dengan melawan hawa nafsu dengan melatih kesabaran.
Semoga bermanfaat dan happy blogging....
Ada tiga bentuk kemenangan bagi umat Islam:
Pertama, Kemenangan Spritual
Kemenangan spiritual adalah kemenangan jiwa, jiwa yang menang adalah jiwa yang selalu bersih dan suci dari berbagai noda dan penyakit seperti syirik, sombong, hasad dan dengki, dan berbagai penyakit hati lainnya yang diharapkan melalui Ramadhan dapat terkikis habis. Allah SWT berfirman:( قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا )
“Sungguh telah menang dan beruntung orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya” (Q.S. Asy-Syams: 9-10)Taqwa adalah suatu kondisi iman dan semangat spiritual yang harus selalu terpatri dalam jiwa seseorang, agar secara berkesinambungan ia selalu merasakan kehadiran dan pengawasan Allah dalam setiap gerak langkah aktifitas yang dilakukannya, sehingga dengannya ia termotivasi untuk tetap taat dan memperbanyak ibadah kepada Allah SWT. Sebagaimana ia juga akan selalu berusaha untuk menghindari duri-duri di jalan kehidupan. Betapa indahnya perumpamaan yang diberikan oleh Ubay bin ka’ab ketika beliau ditanya oleh Umar bin Khattab tentang hakekat taqwa. Ketika itu Ubay balik bertanya: “wahai Amirul mukminin, apa yang anda lakukan di saat anda melewati jalanan yang penuh duri? Umar menjawab: saya akan meneguhkan pandangan agar langkah kakiku tidak menginjak duri, lalu Ubay berkata: wahai amirulmukminin itulah taqwa.”
Semangat ketaqwaan seperti itulah yang diciptakan oleh ibadah puasa, karena dengan berpuasa seseorang dituntut untuk selalu dalam suasana jiwa yang dekat kepada Allah SWT, sebagaimana ia dituntut untuk menghargai waktu agar bisa meraih sekecil apapun peluang ibadah, serta menghindari sekecil apapun peluang dosa yang akan bisa mengurangi atau merusak nilai-nilai puasa. Bahkan dari yang mubah sekalipun jika tidak mendatangkan manfaat apa apa. Oleh Karena itulah Rosulullah membahasakan bahwa “puasa adalah sebagai perisai.”
Ada satu karakter jiwa yang ingin dibina oleh Ramadhan yaitu, jujur atau amanah. Ibadah puasa adalah ujian bagi kejujuran kita, tidak ada yang mengetahui kepastian orang yang berpuasa selain daripada Allah SWT, berbeda dengan ibadah yang lain seperti shalat, haji, zakat dan lain sebagainya.
Kejujuran adalah satu kekuatan yang terdapat dalam jiwa yang membuat pemiliknya mampu melakukan tugas-tugas besar yang diembankan kepadanya. Dengan kejujuran berbagai persoalan dalam hidup dapat diselesaikan, sebaliknya tanpa kejujuran berbagai problematika kehidupan akan selalu bermunculan. Oleh karena itu menghiasi diri dengan sifat jujur adalah satu tuntutan yang dibebankan kepada seluruh elemen masyarakat; pemimpin, pejabat, hakim, politikus, pengusaha, wartawan, kaum akademisi, rakyat dan lain sebagainya.
Kedua: Kemenangan Emosional
Ibadah Ramadhan akan membimbing umat Islam menuju kemenangan emosional. Emosi adalah sifat perilaku dan kondisi perasaan yang terdapat dalam diri seseorang. Ia bisa berupa rasa ingin marah, rasa takut, rasa cinta atau keinginan yang kuat untuk mencintai dan membenci, rasa cemas, rasa minder dan lain sebagainya. Emosi yang menang adalah apabila ia terkendali, yang dalam istilah agama disebut dengan sabar. Jika kita perhatikan teori tentang kecerdasan emosi yang dijelaskan oleh para ahli fsikologi, ternyata konsep kecerdasan emosi ini berbanding sama dengan konsep kesabaran dalam Islam. Sabar dalam Islam bukanlah satu kelemahan, tetapi sabar justru merupakan satu kekuatan. Di dalam Al-Quran dijelaskan bahwa satu orang yang sabar mampu mengalahkan sepuluh lawan dalam pertempuran, atau setidaknya mereka mampu menghadapi lawan sebanyak dua kali jumlah mereka (QS 8: 65-66). Ketika seorang bersabar dan dapat menahan amarahnya dalam menghadapi satu perkara yang ia hadapi maka dia bukanlah orang yeng lemah, akan tetapi justru dia adalah orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Dalam sebuah ungkapannya Rasulullah SAW bersabda: “ orang yang kuat bukanlah orang yang selalu menang dalam berkelahi, akan tetapi orang kuat adalah orang yang dapat menahan diri saat dia marah” (H.R Imam Al-Bukhari).Kesabaran merupakan karakter yang sangat mulia dan ia bisa diraih dengan cara melatih dan membiasakan diri dengannya. Maka bulan Ramadhan merupakan kesempatan yang besar bagi seorang Muslim untuk melatih kesabaran itu. Ia dilatih untuk mengontrol jiwanya dari pengaruh hawa nafsunya. Dengan begitu ia bisa keluar dari bulan Ramadhan sebagai pribadi yang kuat dan pandai mengendalikan diri dan emosinya.
Keterkaitan antara puasa dengan membangun kecerdasan emosional begitu terlihat dalam penjelasan Rasulullah SAW yang mengatakan: “apabila seseorang sedang berpuasa lalu ada yang menghina dia atau mengajaknya untuk berkelahi maka hendaklah ia mengatakan: saya sedang berpuasa, saya sedang berpuasa” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim). Dengan arti kata kondisi seseorang yang sedang berpuasa akan dapat menahan emosinya agar tidak membalas cacian dan dendam dengan perbuatan yang sama.
Ketiga: Kemenangan Intelektual
Ibadah Ramadhan juga akan melahirkan sosok-sosok pribadi muslim yang menang secara intelektual. Kemenangan intelektual ditandai dengan kecerdasannya dalam memahami realita yang selalu dapat memberikan keseimbangan pada diri dan pemikiran.Namun ada satu hal yang harus kita pahami bahwa terminologi kecerdasan intelektual dalam Islam tidak berbanding sama dengan teori kecerdasan yang dipahami oleh banyak orang. Selama ini banyak orang yang mengukur kecerdasan lewat pencapaian- pencapaian angka dalam batas tertentu. Sehingga sorang anak dikatakan cerdas apabila nilai rata-ratanya di sekolah Sembilan atau sepuluh. Seorang mahasiswa dianggap cerdas ketika ia sudah mampu menghapal banyak diktat perkuliahannya lalu menghasil nilai IPK tertinggi, begitu seterusnya. Sementara di dalam Islam kesuksesan dan kecerdasan diukur secara proporsional antara kwalitas dan kwantitas. Kecerdasan ada pada mereka yang menempatkan ilmu di hati bukan sekedar di lidah dan retorika saat berdiskusi tapi tidak disertai dengan aksi. Rasulullah SAW bersabda:
( اَلْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ) (رواه الترمذي)
Orang yang berakal (cerdas secara intelektual) adalah orang memperbudak dirinya sendiri dan selalu berbuat untuk kepentingan akhirat) (H.R. At-Tirmizi)
Dengan demikian seoarang anak dianggap cerdas bukan semata-mata karena ia telah meraih angka 9 atau 10, akan tetapi diukur sejauhmana pelajaran –pelajaran itu berpengaruh positif dalam kehidupannya. Seorang dianggap cerdas bukan sekedar sudah mengetahui bahwa 1 kg itu sama dengan 10 ons, akan tetapi dianggap cerdas ketika pengetahuan itu diterapkannya di saat ia menjadi seorang pedagang. Sistem pendidikan seperti inilah yang diterapkan oleh Rosulullah SAW dalam mendidik para sahabatnya, sehingga beliau memutuskan untuk mengirim Mush’ab bin ‘Umair menjadi duta dakwah ke Madinah, padahal Mush’ab ketika itu bukanlah orang yang paling banyak hapalan alqurannya.
Inilah tiga kemenangan besar yang diharapkan dapat diraih secara nyata dalam setiap pribadi muslim melalui pelaksanaan ibadah puasa. Sebagai seorang muslim yang setiap tahun melaksanakan ibadah ramadhan harus selalu menginstropeksi dirinya di setiap penghujung hari ramadhan, agar ia tahu apakah ia hari ini benar-benar berbahagia untuk dirinya, atau untuk orang lain. Intropeksi itu menjadi penting untuk dilakukan agar Ramadhan tidak sebatas rutinitas tahunan.
Semoga kita benar-benar menjadi orang yang menang setelah sebulan penuh kita ditempa dengan tarbiyyah ramadhan. Dan semoga kita bisa menjaga kemenagan itu di sebelas bulan berikutnya untuk menyongsong perang kembali di ramadhan yang akan datang dengan melawan hawa nafsu dengan melatih kesabaran.
Semoga bermanfaat dan happy blogging....