Menu Atas

Iklan

Selasa, 11 Februari 2014, Februari 11, 2014 WIB
Last Updated 2019-02-01T21:25:24Z
CoretankuOpini

Benarkah Tidak Memilih Itu Sebuah Pilihan?

Advertisement
golput
image from google
Benarkah Tidak Memilih Itu Sebuah Pilihan? | Setiap tiba musim pemilu, baik itu pemilihan legislative, presiden ataupun pemilukada pasti tidak terlepas dari adanya golongan yang mengatasnamakan Golongan Putih alias Golput. Fenomena golput ini adalah seringkai diidentifikasikan dengan "gerakan protes" rakyat terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dan pilkada, namun yang penting untuk diketahui dari gerakan itu adalah makna dan sasaran yang ingin dicapainya serta implikasinya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahwa hingga kini masih tetap ada golput yang merupakan masalah pada sistem pemilu kita, ada apa dengan dinamika demokrasi kita?" Tidak mencoblos salah satu pun dari tanda gambar organisasi peserta pemilu, salah satu pasangan calon kepala daerah atau calon legislatif tentu saja bukannya tanpa kesadaran dan pertimbangan yang argumentatif.

Ada pendirian bahwa tidak memilih itu adalah sebuah pilihan. Ini sah-sah saja karena ini merupakan hak setiap individu untuk menentukan pilihannya masing-masing. Namun tentunya sebagai orang yang mempunyai nalar dan fikiran tentunya apa yang kita perbuat harus berdasar hati nurani yang sehat bukan karena nafsu atau mengikuti tanpa argumentasi yang kuat. Berpikir jernih sebelum bertindak adalah sebuah keputusan yang bijaksana dan bersikap. Yang menjadi pertanyaannya adalah apakah ketika kita tidak menentukan pilihan pada pesta demokrasi ini sebuah keputusan yang bijak dan bisa menyelesaikan permasalahan Negara ini?

Banyak sebab kenapa seseorang tidak menentukan pilihan pada pemilu ini. salah satu hal yang paling mendasar dari golput (golongan putih) ini adalah sikap apatis masyarakat terhadap politisi, yang notabene selama ini tidak bisa memenuhi harapan rakyat. Bahkan mereka cenderung memperkaya diri sendiri dari jabatan yang mereka pikul. Sehingga masyarakat umumnya beranggapan bahwa partisipasi politik mereka sia-sia karena tidak pernah efektif dalam memilih wakilnya di parlemen. Pola pikir masyarakat melihat elite politik yang senantiasa selalu membodohi masyarakat. Apalagi saat ini kita sering menyaksikan pemberitaan di media yang didominasi oleh skandal para wakil rakyat yang menyebabkan semakin timbulnya sikap apatis ini.

Menurut salah seorang pencetus golput pada tahun 1971, Arif Budiman, bahwa orang-orang golput itu ada yang murni dan ada yang kecelakaan. Kalau yang murni tidak mau memilih berdasarkan kesadaran, sedangkan yang kecelakaan karena memang benar-benar tidak mengerti atau lagi ada halangan. Sekali lagi, banyak masyarakat yang berpikir dia memilih atau tidak, tidak ada perbedaan yang akan ia rasakan. Banyak pula yang enggan memberikan hak suaranya karena alasan tidak ada calon yang cocok sesuai kata hati mereka atau karena mereka apatis dengan pemilihan kepala daerah. Dan ada juga masyarakat yang sebenarnya memiliki kartu tanda penduduk namun tidak memiliki hak pilih karena tidak tercatat sebagai DPT.

Membahas masalah golput ini, maka kita tidak lepas untuk menyibak faktor-faktor yang melatarbelakangi seseorang memberikan suaranya dalam pemilu. apakah memilih merupakan hak atau kewajiban, atau hanya sebuah ritual budaya semata yang tanpa makna? Pemaknaan ini kembali kepada diri kita masing masing. Lalu benarkah tidak memilih itu sebuah pilihan?

Sebagai penutup pembahasan ini, saya mengutip ungkapan dari seorang filusuf Yunani, Plato, bahwa jika kita tidak menentukan pilihan sama saja kita menyerahkan kekuasaan negeri ini kepada orang yang lebih rendah kecerdasannya daripada kita.

Semoga bermanfaat dan happy blogging……