Menu Atas

Iklan

Rabu, 18 Desember 2013, Desember 18, 2013 WIB
Last Updated 2019-02-01T21:25:24Z
Opini

Wani Piro, Ideologi Atau Penyakit?

Advertisement
wani piro
gambar dari google
Wani Piro | Pernah liat iklan rokok Djarum 76 di tipi? Jika pernah melihatnya tentunya kita sering mendengar kalimat seperti ini. “Pengen sogokan hilang dari muka bumi”, kemudian dijawab :”bisa diatur, wani piro?.  Yah meskipun tidak ada hubungannya antara rokok dengan kalimat tersebut. Tagline “wani piro” begitu akrab di telinga setiap orang. Ungkapan itu seringkali meluncur bahkan dari mulut anak-anak kecil baik secara serius maupun guyonan. Ketika diperintahkan untuk melakukan suatu pekerjaan misalnya, maka jawaban yang muncul adalah “wani piro”?. Mereka menuntut upah untuk tugas yang dibebankan sehingga yang timbul adalah hilangnya rasa keikhlasan untuk menolong sesama. Secara luasnya dialog tersebut memiliki sebuah makna alias sindiran terhadap perilaku masyarakat mulai dari pejabat pemerintah sampai masyarakat biasa yang selalu UUD  alias ujung-ujungnya duit. Loh kok ujungnya duit, memangnya wani piro itu apa artinya?

Buat sobat blogger yang asli orang jawa tentunya sudah paham tentang arti dari wani piro ini. Wani artinya adalah berani dan piro artinya adalah berapa. Jadi arti dari wani piro adalah “Berani Berapa”. Kalimat ini jelas, yang dimaksud berani berapa adalah berani bayar berapa. Tapi sebenarnya tidak ada yang salah dari kalimat ini jika memang dikaitkan dengan dunia kerja. Sebagai seorang frofesional dalam pekerjaan tentunya harus sesuai apa yang dia kerjakan dengan seberapa besar bayarannya. Dan itu adalah memnag menjadi haknya untuk menerima bayaran sesuai dengan hasil pekerjaannya. Wani piro disini adalah dalam hal yang positif.

Namun wani piro jika dikaitkan dengan berani bayar berapa untuk memuluskan sesuatu maka bisa dikatakan bahwa ini adalah sebuah penyakit akut bangsa ini. Suap atau sogok menyogok biasanya identik dengan kalimat wani piro ini. Jika sudah masuk ranah ini maka setanlah yang biasanya merayu manusia untuk melakukan kesalahan termasuk suap atau korupsi ini, lantas bagaimana kalau setan yang meminta suap? Setan sudah kehilangan pekerjaan dan berekspansi dengan pekerjaan manusia karena pekerjaannya banyak yang telah diambil alih oleh manusia.

Uang kadangkala menjadia berhala yang  begitu dipuja. Karena uang bagi penganut ideology ini adalah segalanya. Pekerjaan tidak akan jalan tanpa uang. Sesuatunya tidak akan lancar tanpa dengan uang. Lalu untuk apa uang itu? Jawabannya kepentingan. Kepentingan manusia mulai dari urusan perut sampai urusan prestise dan aktualisasi. Urusan perut terjadi saat terjadi tawar menawar membeli kebutuhan pokok yang alot dan biasanya diakhiri dengan kalimat, ya sudah Anda berani berapa? Praktek wani piro di sini tentu tidak mendatangkan masalah karena dilakukan terbuka dan tidak ada pihak yang dirugikan.

Nah praktek wani piro yang merugikan terjadi guna melancarkan sesuatu urusan atau masalah meskipun awalnya tersumbat dan bahkan menurut akal adalah tidak mungkin bisa gol. Misalnya kita punya urusan baik bisnis, masalah hukum, pajak, sampai urusan sepele kuncinya adalah duit, dengan lembaran-lembaran duit ini semua menjadi mulus. Praktek wani piro ini terjadi di semua lembaga pemerintahan baik di eksekutif, legislative maupun Judikatif. Berapa banyak gubernur,walikota, bupati, anggota DPR atau DPRD, jaksa, hakim dan pengacara yang masuk penjara karena persoalan uang. Yang lebih parah lagi adalah para pengadil dan penegak hukum tidak luput dari penyakit wani piro ini. Jika penegak hukum saja sudah hilang hati nuraninya, maka “Apa Kata Dunia”?.

Bangsa ini telah menjelma menjadi bangsa yang mewajarkan tradisi “amplop alias angpaw” dalam segala urusannya, meski sebenarnya urusan itu telah tercover dalam anggaran resmi sebuah institusi pemerintahan, ataupun justru tidak perlu diberikan tip karena telah menjadi tanggung jawab pekerjaan seseorang. Beda antara hadiah dan sogokpun menjadi samar dengan tanpa disengaja ataupun tidak.
Banyak urusan hanya bisa lancar dengan uang. Bangsa ini juga lebih menyukai jalan pintas untuk mendapatkan sesuatu dengan menghalalkan segala cara, dibandingkan harus bersusah payah berusaha mendapatkannya dengan cara normal, wajar, dan lebih beradab. Kasus-kasus korupsi yang diekspos berbagai media belakangan ini menunjukan bahwa banyak pejabat dan wakil rakyat negeri ini kehilangan kepekaannya terhadap nasib rakyat dan kepeduliannya kerugian negara.


Banyak kasus-kasus ketidak adilan di negeri ini. Pejabat dan konglomerat yang sudah jelas-jelasa salah dimata publik dengan enaknya sampai saat melenggang bebas. Kuncinya adalah mereka wani piro. Lihatlah bagaimana kasus Century, Hambalang, dan BLBI yang entah menguap sampai dimana kasusnya. Namun jika  yang menjadi korbannya adalah rakyat miskin atau tidak punya pengaruh meskipun kesalahannya tidak seberapa berat . Ketika mereka terjerat kasus hukum sepertinya sulit lolos. Ketidak adilan ini salah satunya adalah disebabkan karena mereka tidak bisa menjawab pertanyaan wani piro?

Entah bagaimana kita dapat memotong idiologi wani piro sehingga tidak terus-terusan merusak pola fikir masyarakat. Yang jelas perlu keputusan politik yang komprehensif yang mencakup kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Yang lebih penting lagi adalah IBDA’ BINAFSIK, atau mulailah dari diri sendiri dengan membentuk budaya jujur. Namun membentuk budaya jujur tidaklah mudah, sesulit menjadi shaim sejati di tengah masyarakat bangsa ini. Tetapi jika gerakan laku jujur ini berjalan dan sukses, tidak ada yang diuntungkan kecuali diri kita sendiri. Ketentraman, kedamaian, keamanan, dan keteraturan sosial akan menjadi atmosfir yang melingkupi kehidupan berkeluarga, bermasyakat dan berbangsa.

Semoga bermanfaat dan happy blogging…..